Mengenalkan Manajemen Resiko Pada Anak

by - Saturday, October 06, 2012


Menurut saya pribadi adalah penting mengenalkan kemungkinan terjadinya resiko (manajemen resiko) kepada anak, terutama usia ABG (6-17 tahun). Resiko bisa berupa hal-hal diluar dugaan yang kemungkinan terjadi. Hal ini untuk membantunya menghadapi kenyataan apapun yang bisa terjadi pada setiap rencana kegiatan yang bahkan sudah disusun dengan matang.

Saya pengen bahas hal ini karena pernah mengalami. Suatu hari, terjadi keributan di rumah yang disebabkan oleh printer yang tiba-tiba ngadat. Padahal saat itu akan dipakai adik untuk nge-print tugas sekolah yang ternyata baru selesai di pagi hari. Padahal sudah dikerjakan sejak malam. Waktu sudah menunjukkan jam setengah 6 pagi. Sedangkan adik harus berangkat ke sekolah maksimal jam 6 agar tidak terlambat. Saya sendiri memang tidak tahu ada rencana ini sebelumnya, karena yang saya tahu tugas sudah oke pada malam hari. Mana saat itu cuma ada saya, adik, dan bapak. Harusnya tugas menyiapkan sarapan pagi itu adalah saya. Karena kejadian tak terduga ini, jadilah saya pontang panting beresin printer yang ternyata tintanya habis, tapi saya gak ngerti cara ngisinya.

Saya sebenarnya paling anti berurusan dengan printer karena sering gak kebeneran, alias adaaa aja yang eror. Apalagi di rumah printernya baru, yang saya gak begitu paham seluk beluknya. Dicoba-coba tetep aja gak nampak berhasil. Printer tetap gak mendeteksi tinta yang baru dimasukkan. 

Akhirnya saya bilang ke adek agar ngeprint di rental deket sekolah atau di labkom saja. Dengan sangat berat hati dan ngambek (entah ngambek sama printer, saya, keadaan atau dia sendiri) akhirnya dia menyerah. Berangkatlah tanpa sarapan dengan tugas yang masih ‘menggantung’.

Dari kasus ini saya bisa bilang :
  • Orang tua harus memastikan kepada anak bahwa tugas-tugas sekolahnya sudah beres sebelum tidur, jadi pagi tenang semua. Kalaupun memang belum beres jauh sebelum berangkat sekolah diingatkan lagi.
  • Anak harus mengkomunikasikan bahwa tugas belum semua kelar, masih ada yang disisakan buat besok pagi. Ini penting bagi orang tua atau pendamping belajar dirumah untuk membantunya mengingatkan sekaligus cari plan B secepatnya jika resiko muncul.
  • Sejak dini (minimal usia 12 tahun) anak harus mulai dikenalkan kemungkinan resiko terutama yang berkaitan dengan kegiatan belajar. Dan dibantu membuat plan B sebagai cadangan. Jadi tidak serta merta begitu ada masalah di waktu yang sudah mepet orang tua kelabakan turun tangan langsung. Lah iya kalau orang tua tau solusinya, kalau misalnya gak kan repot dan bisa-bisa si anak ngambek masuk sekolah karena tugasnya belum beres. Misal seperti kasus diatas, solusi plan B nya kalau gak bisa ngeprint di rumah, ya ngeprint di labkom atau warnet, atau rental komputer dekat sekolah.
  • Anak harus mulai diajarkan cara bernegosiasi dengan guru/pembina di sekolah jika memang terjadi force major. Jangan sampai anak ketakutan dengan gurunya untuk menceritakan apa yang terjadi. Dan terapkan kejujuran, agar negosiasi yang dilakukan tetap berada di jalan yang benar.
  • Untuk guru, saya yakin guru-guru akan bijaksana dan memberi maklum jika memang ada problem dari siswanya. Syukur2 membantu mencarikan solusi sehingga siswa juga merasa lega karena tugas tetap bisa dikumpulkan dengan baik meski mungkin agak terlambat. (ada siswa yang kadang kala kolot dan super patuh sama guru, jadi ya jika apa2 bawaannya takut banget kalau berbuat tidak sesuai perintah gurunya)
Pulang sekolah saya tanya adik tentang nasib PR nya. Walaupun berangkat dengan muka ditekuk, ternyata adik saya nurut juga, tugasnya di-print di labkom minta bantuan guru TIK. 

Syukurlaaah… tugas tetap terkumpul dengan baik dan saya gak dihantui rasa bersalah gak bisa beresin printer :)

Btw, waktu seumuran adek, saya juga pernah mengalami force major saat berangkat sekolah bersama Bapak. Pas itu kami pake mobil karena mendung yang tebal. Takut kehujanan di jalan, sementara jarak sekolah sangat jauh (25 km). Ternyata baru setengah perjalanan mobil macet, karena memang aslinya kondisi mobil sedang kurang baik. Panik lah kita! Mana sisa waktu tinggal ½ jam lagi. 

Yang saya pikirkan saat itu cuma pasrah kalau sampai di sekolahnya telat. Tinggal lapor guru BP, paling dikasih poin. Yang penting saya gak nangis dan menampakkan muka panik atau kesel di depan Bapak. Karena saya tahu Bapak juga panik waktu itu. 

Singkat cerita akhirnya mobil nyala lagi setelah Bapak bersusah payah ngebenerin yang eror. Saya pun berhasil sampai sekolah dengan waktu tinggal beberapa menit sebelum bel. Pulang-pulang si mobil langsung opname di bengkel. Fiuuuhh…

gambar pinjem di : uisg.uiowa.edu

\\


You May Also Like

2 Comments

  1. Saya setuju sekali dengan pembelajaran di atas mba, tapi kadang saya kawatir dengan poin yang lima (terakhir) kalau gurunya bijaksana seperti itu saya pasti ok saja, tapi kadang saya menjumpai ada guru yang terlalu temperamental dalam menghadapi siswa-siswanya, dan itu bukan tegas tapi amarah (Entah itu beliau ada permasalahan pribadi atau bagaimana, saya sering gak sampai hati melihat mereka (siswa anak-anak masih di bawah 9 tahun harus menghadapi permasalahan yang serba emosi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. ah i see, memang ada saja guru yang gak menerima problem yang disampaikan. jika begitu, berarti anak perlu diajarkan trik bernegosiasi yang baik dengan guru, tapi bukan dg cara2 yang terlarang ya...

      Delete

Thankyou very much for dropping by. Tapi maaf saya moderasi ya, untuk menghindari spam dan komen dg link hidup. Bila waktunya luang pasti akan saya balas dan kunjungi balik blog kalian :)